Ramadan Public Lecture 1444 H kembali menggelar diskusi panel edisi terakhir pada Kamis (13/4) di Masjid Kampus UGM. Mengangkat tema “Problematika Moral Jagat Media Sosial Indonesia”, diskusi panel ini mengundang pendiri PT Narasi Media Pracaya (Narasi) Najwa Shihab, S.H., LL.M. dan dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM Nyarwi Ahmad, Ph.D. sebagai pembicara. Sebagai moderator adalah dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM Zainuddin Muda Z. Monggilo, S.I.Kom., M.A.
Media sosial, yang sering disebut ‘medsos’ atau ‘sosmed’, adalah platform digital yang hampir semua orang miliki di era sekarang. Kemudahan yang diberikan kepada penggunanya untuk saling berkomunikasi dan membagikan konten baik berupa tulisan, foto, video, dan lainnya merupakan salah satu alasan utama platform digital ini digemari banyak orang. Hal ini dikemukakan Najwa dalam pernyataan pembukaan dalam diskusi panel. “Pengguna sosial media (media sosial, red.) aktif Indonesia mencapai 188 juta pengguna, hampir 75% populasi Indonesia,” jelas Najwa memberikan data pengguna sosial media di Indonesia.
Dalam diskusi ini, Fahmi, seorang jemaah peserta diskusi panel dari FISIPOL UGM, melempar wacana terkait indeks kesopanan digital Digital Civility Index (DCI) yang dirilis Microsoft, di mana warganet Indonesia menempati peringkat paling buruk se-Asia Pasifik pada 2020. Hoaks menempati poin yang menyumbang resiko kesopanan terbanyak (47%), disusul dengan ujaran kebencian (27%).
Menanggapi data itu, Najwa membenarkan bahwa memang salah satu tantangan media sosial yang dihadapi dunia termasuk Indonesia adalah hoaks. “Di setiap negara pasti ada tantangan. Mulai dari hoaks, virus dusta… pornografi, penyebaran data pribadi, ini semua merupakan tantangan sosial media di seluruh dunia. Namun karena Indonesia suka ngobrol, penggunanya banyak, tantangan ini menjadi semakin besar dibanding negara lain,” ungkap Najwa.
Menyoal hoaks, Najwa melanjutkan bahwa sekarang sulit untuk bisa membedakan mana informasi ‘sampah’ dan fakta. Menurutnya, di era sekarang keduanya tampak sama di media sosial. Informasi ‘sampah’ dikemas mirip fakta yang sulit untuk dibedakan. “Baunya mirip semua, sudah disemprotin ‘pewangi’. Jadi hidung yang tidak biasa membedakan mana yang ‘sampah’ dan wangi betulan terkadang kita tersipu dan terbuai. Ini semua adalah problem (masalah),” tambahnya.
Keresahan Najwa: Atensi, Empati, Emosi
Najwa, yang dikenal publik karena acara Mata Najwa ini, mengungkapkan dua hal yang ia resahkan tentang media sosial. Keresahan pertama mengenai atensi dan empati. Menurutnya, ini sebenarnya adalah sesuatu yang sederhana namun penting diperhatikan.
“Misal teman kita curhat, kita sibuk sambil scroll (menggulir) cek WA (WhatsApp), email, IG (Instagram). Sedemikian mudah kita kehilangan perhatian, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kita kehilangan empati. Saat kecelakaan atau perkelahian, hal pertama yang dilakukan adalah merekam drama itu dibanding kita mengecek apakah ada orang yang butuh bantuan atau tidak,” jelasnya memberikan contoh.
Keresahan kedua adalah mengenai ekspresi kemarahan yang tidak disaring di media sosial. Menurutnya, kemarahan lebih mudah diterima di sosial media sehingga banyak orang yang memanfaatkan hal tersebut. Najwa mencontohkan Twitter yang isinya sekarang adalah kemarahan. “Saya termasuk early adapter (pengguna awal) Twitter. Dulu Twitter itu menyenangkan, banyak jokes (canda), Twitter seru. Sekarang Twitter isinya aula kemarahan orang-orang. Dan bukan hanya Twitter, hampir semua platform,” jelasnya.
Najwa juga menyoroti objek kemarahan, yang baginya beberapa di antaranya sebenarnya tidak layak. “Tidak layak karena sebenarnya lagi apes aja, salah ngomong. Politisi dimarahi, agak susah untuk dibelain tapi terkadang kasihan juga, selebriti dimarahi, content creator (kreator konten) dimarahi – dan kerap kali kemarahan netizen terhadap orang yang malang ini menjadi berkali-kali dari kesalahan awalnya. Yang bikin miris terkadang kemarahan itu oleh Twitter dikasih tanda love (hati). Misal saya me-retweet, katakan saja saya bilang karya ini jelek, retweet ini banyak mendapatkan love,” ungkapnya.
Mengenai kemarahan, Najwa mengutip dari penelitian William Brady yang mengukur ekspresi kemarahan moral di Twitter. Hasilnya, pengguna yang banyak menerima like (suka) dan retweet lebih bertendensi membuat postingan kemarahan dan kebencian. Gelombang kemarahan dan kebencian terus mengulang dan tidak putus-putus karena banyak disukai.
Meski kemarahan banyak berdampak negatif, menurut Najwa itu tidak selalu buruk. Terkadang kemarahan dibutuhkan untuk menggerakkan, misalnya pada keadilan yang tidak sistemik. Kemarahan bisa berpotensi mengubah keadaan; misalnya gerakan #MeToo di Amerika Serikat, gerakan Black Lives Matter, gerakan Reformasi Dikorupsi, hingga aksi Gejayan Memanggil.
Menurutnya kemarahan tersebut adalah contoh kemarahan yang jelas. “Tapi hari-hari ini yang kita lihat justru kemarahan lain yang tidak jelas tujuannya hanya karena ingin melampiaskan energi kebencian,” tambah Najwa. (Yahya Wijaya Pane/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Arya Hudia, Adilla Falasifah)