Direktur Sosialisasi dan Komunikasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Prof. Dr. Agus Moh. Najib, M.Ag. menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa daerah, dialek, dan agama. Semua perbedaan ini tidak menjadi sangat berarti karena Indonesia adalah negara dengan semboyan bhinneka tunggal ika – yang memiliki makna walau berbeda-beda tetapi tetap satu jua – dan diikat oleh Pancasila. Demikian dipaparkan dalam materi ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1444 H “Rasionalisasi dan Operasionalisasi Pancasila: Dari Realitas Subjektif menuju Realitas Objektif” di Masjid Kampus UGM, Rabu (12/4).
Akan tetapi, menurutnya, kenyataan yang ada pada saat ini menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut mulai mengalami perselisihan, yang disebabkan oleh munculnya fanatisme kelompok. Selain itu, alasan politik dan kepentingan-kepentingan ekonomi juga menjadi salah satu faktor atas mengikisnya nilai tunggal ika yang telah lama menjadi semboyan negara Indonesia. “Kita menyadari bahwa kita majemuk, berbeda-beda dari segi agama, bahasa, suku… tetapi rasa tunggal ika-nya yang perlu terus untuk dipupuk,” imbuhnya.
Ia membandingkan konsensus kebangsaan Indonesia dengan Piagam Madinah, di mana Rasulullah mengikat masyarakat Madinah menjadi satu kesatuan dengan konsensus kebangsaan yaitu sebagai masyarakat Madinah. Hal ini merupakan bentuk praktik kepemimpinan yang dicontohkan secara langsung oleh Rasul. Prof. Najib menjelaskan bahwa Pancasila adalah bentuk cita-cita dari para pendiri negara yang menginginkan Indonesia menjadi negara yang maju dengan pemerataan ekonomi.
Menurut beliau, Pancasila akan berfungsi sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung jika ia diimplementasikan. Implementasi tersebut dapat terwujud dengan menjadikannya sebagai prospek keilmuan, objek keilmuan, bahkan paradigma keilmuan. Dengan demikian, undang-undang yang dirancang akan menjurus kepada nilai-nilai Pancasila seperti yang diharapkan oleh para pendiri negara. (Hafidah Munisah/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Ismail Abdulmaajid, Musyarrafah Mudzhar)