Intelegensi merupakan pokok bahasan umum yang ada di sekitar kita. Istilah yang dikenal juga dengan sebutan intelektual dan cendekia ini merupakan kemampuan seseorang dalam menjawab masalah yang ada di masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A dalam Mimbar Subuh Ramadan Public Lecture 1444 H, Selasa (11/4) di Masjid Kampus UGM.
Purwo, dalam pembuka ceramahnya dalam balutan tema “Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia Muslim” itu menjelaskan bahwa intelektual, intelegensi dan cendekia merupakan konsep yang sebenarnya banyak ditemui di sekeliling kita. Menurutnya konsep ini adalah kemampuan seseorang akan kepekaan dan sensitivitas terhadap masalah-masalah di sekitarnya. “Ini cara saya dalam mendefinisikan, memaknai intelegensi atau kecendekiaan,” ujar beliau.
Purwo menambahkan bahwa setiap manusia merupakan cendekiawan. Hanya saja setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan dan mengartikulasikannya dalam kehidupan sehari-hari. “Bagi kita yang berkhidmat di kampus dari definisi dan penjabaran makna kecendekiaan, kita [sebagai] insan akademik adalah cendekiawan yang ditekankan pada praktek keilmuan yang digeluti masing-masing,” jelasnya.
Purwo menjelaskan bahwa konsep cendekiawan pada lingkup kampus, khususnya bagi mahasiswa, merupakan suatu hal yang seharusnya jadi makanan sehari-hari. Beliau berdalih dengan mencontohkan konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dua contoh tersebut merupakan kegiatan yang umum mahasiswa lakukan saat ini, yang pada dasarnya adalah praktek cendekiawan. Menurutnya KKN dan MBKM merupakan cara pengkaderan cendekiawan yang dilakukan di era sekarang.
“Cara untuk mendidik mahasiswa adalah diceburkan ke masyarakat. Konsep ini merupakan penjabaran KKN yang bermaksud agar mahasiswa sanggup mengerti masyarakat dari sisi masyarakat. Sehingga sebenarnya konsep cendekiawan itu sudah built in (terbangun) dalam kurikulum pendidikan saat ini, khususnya di UGM.” jelas Purwo.
Selain menyinggung MBKM dan KKN, Purwo juga menjelaskan konsep lain kecendekiaan di lingkungan kampus yaitu skripsi. Menurutnya, skripsi sebagai tahapan di mana mahasiswa melatih kualitas ketajamannya untuk memvalidasi sebuah masalah merupakan pencerminan cendekiawan. Namun, beliau menyayangkan kenyataan bahwa tahap skripsi masih belum dimanfaatkan secara maksimal.
“Menulis skripsi harus ada masalah. Kualitas ketajaman untuk validasi masalah ini merupakan pencerminan cendekiawan di kampus. Meski pada kenyataannya ini hanya menjadi formalitas memenuhi satuan kredit semester (SKS) perkuliahan, tetapi konsep awal ini sebenarnya merujuk pada kecendekiaan,” jelasnya.
Pada kesempatan ini beliau juga membahas konsep cendekiawan keislaman di masa lampau. Purwo menjelaskan, sebelum sampainya Islam ke Indonesia sudah ada spiritualitas lain yang dianut masyarakat. Melalui konsep dakwah dengan elemen penyampaian yang sedemikian rupa, Walisongo sebagai tokoh utama penyebaran agama Islam di Indonesia berhasil mengajak masyarakat memeluk agama Islam. “Sebagai ilustrasi, Walisongo dalam menyebarkan Islam melalui wayang merupakan cara yang cerdas [dari] praktek cendekiawan di zamannya,” ujar Purwo memberikan contoh.
Pada akhir ceramah, Purwo menggarisbawahi pelaku cendekiawan mengisyaratkan kemampuan untuk memiliki performativity. Cendekiawan dituntut untuk dapat menyelesaikan dan menjawab kontroversi yang ada sehingga dapat mengurangi kegelisahan yang menjadi pokok permasalahan masyarakat. Ini merupakan tanggungjawab yang harus dipenuhi oleh insan cendekiawan. (Yahya Wijaya Pane/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Rama S. Pratama, Musyarrafah Mudzhar)