• UGM.AC.ID
  • Jama’ah Shalahuddin UGM
  • Rumah ZIS UGM
  • Perpus Baitul Hikmah
  • KB-TK Maskam UGM
  • Mardliyyah UGM
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang Kami
    • Selayang Pandang
    • Sejarah Masjid Kampus UGM
    • Manajemen Masjid
  • Kegiatan dan Layanan
    • Kegiatan dan Layanan
    • Fasilitas dan Gerai
    • Formulir Peminjaman Fasilitas
    • Prosesi Kembali Ke Islam
  • Artikel
    • Beranda Artikel
    • Ibadah dan Kajian Islam
    • Diskusi Paradigma Profetik
    • Sakinah Academy
    • Maskam Public Lecture
    • Ramadan Public Lecture
    • Berita dan Informasi Lain
    • Tulisan dan Khutbah
  • Donasi
  • Kontak
  • Beranda
  • Ramadan Public Lecture
  • Ulas Konsep Cendekia, Guru Besar FISIPOL UGM: Setiap Insan adalah Cendekiawan

Ulas Konsep Cendekia, Guru Besar FISIPOL UGM: Setiap Insan adalah Cendekiawan

  • Ramadan Public Lecture
  • 12 April 2023, 22.02
  • Oleh: Masjid Kampus UGM
  • 0

Intelegensi merupakan pokok bahasan umum yang ada di sekitar kita. Istilah yang dikenal juga dengan sebutan intelektual dan cendekia ini merupakan kemampuan seseorang dalam menjawab masalah yang ada di masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A dalam Mimbar Subuh Ramadan Public Lecture 1444 H, Selasa (11/4) di Masjid Kampus UGM.

Purwo, dalam pembuka ceramahnya dalam balutan tema “Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia Muslim” itu menjelaskan bahwa intelektual, intelegensi dan cendekia merupakan konsep yang sebenarnya banyak ditemui di sekeliling kita. Menurutnya konsep ini adalah kemampuan seseorang akan kepekaan dan sensitivitas terhadap masalah-masalah di sekitarnya. “Ini cara saya dalam mendefinisikan, memaknai intelegensi atau kecendekiaan,” ujar beliau.

Purwo menambahkan bahwa setiap manusia merupakan cendekiawan. Hanya saja setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan dan mengartikulasikannya dalam kehidupan sehari-hari. “Bagi kita yang berkhidmat di kampus dari definisi dan penjabaran makna kecendekiaan, kita [sebagai] insan akademik adalah cendekiawan yang ditekankan pada praktek keilmuan yang digeluti masing-masing,” jelasnya.

Purwo menjelaskan bahwa konsep cendekiawan pada lingkup kampus, khususnya bagi mahasiswa, merupakan suatu hal yang seharusnya jadi makanan sehari-hari. Beliau berdalih dengan mencontohkan konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dua contoh tersebut merupakan kegiatan yang umum mahasiswa lakukan saat ini, yang pada dasarnya adalah praktek cendekiawan. Menurutnya KKN dan MBKM merupakan cara pengkaderan cendekiawan yang dilakukan di era sekarang. 

“Cara untuk mendidik mahasiswa adalah diceburkan ke masyarakat. Konsep ini merupakan penjabaran KKN yang bermaksud agar mahasiswa sanggup mengerti masyarakat dari sisi masyarakat. Sehingga sebenarnya konsep cendekiawan itu sudah built in (terbangun) dalam kurikulum pendidikan saat ini, khususnya di UGM.” jelas Purwo.

Selain menyinggung MBKM dan KKN, Purwo juga menjelaskan konsep lain kecendekiaan di lingkungan kampus yaitu skripsi. Menurutnya, skripsi sebagai tahapan di mana mahasiswa melatih kualitas ketajamannya untuk memvalidasi sebuah masalah merupakan pencerminan cendekiawan. Namun, beliau menyayangkan kenyataan bahwa tahap skripsi masih belum dimanfaatkan secara maksimal.

“Menulis skripsi harus ada masalah. Kualitas ketajaman untuk validasi masalah ini merupakan pencerminan cendekiawan di kampus. Meski pada kenyataannya ini hanya menjadi formalitas memenuhi satuan kredit semester (SKS) perkuliahan, tetapi konsep awal ini sebenarnya merujuk pada kecendekiaan,” jelasnya.

Pada kesempatan ini beliau juga membahas konsep cendekiawan keislaman di masa lampau. Purwo menjelaskan, sebelum sampainya Islam ke Indonesia sudah ada spiritualitas lain yang dianut masyarakat. Melalui konsep dakwah dengan elemen penyampaian yang sedemikian rupa, Walisongo sebagai tokoh utama penyebaran agama Islam di Indonesia berhasil mengajak masyarakat memeluk agama Islam. “Sebagai ilustrasi, Walisongo dalam menyebarkan Islam melalui wayang merupakan cara yang cerdas [dari] praktek cendekiawan di zamannya,” ujar Purwo memberikan contoh.

Pada akhir ceramah, Purwo menggarisbawahi pelaku cendekiawan mengisyaratkan kemampuan untuk memiliki performativity. Cendekiawan dituntut untuk dapat menyelesaikan dan menjawab kontroversi yang ada sehingga dapat mengurangi kegelisahan yang menjadi pokok permasalahan masyarakat. Ini merupakan tanggungjawab yang harus dipenuhi oleh insan cendekiawan. (Yahya Wijaya Pane/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Rama S. Pratama, Musyarrafah Mudzhar)

Leave A Comment Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Artikel Terbaru

  • Guru Besar Filsafat UGM: AI dalam Kebijakan Publik Harus Berlandaskan Keadilan
  • Ketua Dewan Guru Besar UGM Ajak Raih Jiwa Muthmainnah Untuk Menjaga Bumi dan Semesta
  • Tenaga Ahli Kementan Jelaskan “Panca Krida Kedaulatan Pangan Nusantara” sebagai Jihad Pertanian
  • Wawan Mas’udi: Solidaritas Sosial sebagai Pondasi Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
  • Mantan Wakil Ketua KPK: “Masih Ada Harapan” untuk Sistem Hukum Indonesia
Universitas Gadjah Mada

MASJID KAMPUS UGM

Jalan Tevesia 1 Bulaksumur, Caturtunggal, Depok,

Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

Email: masjidkampus[@]ugm.ac.id

© Takmir Masjid Kampus UGM - Badan Pengelola Masjid UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju