Ramadan Public Lecture (RPL) 1444 H kembali menggelar diskusi panel pada Kamis (6/4) di Masjid Kampus UGM. Mengangkat tema “Urun Rembuk Nasional Masa Depan Industri Dirgantara Indonesia”, diskusi panel ini mengundang Staf Ahli Direktorat Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Heri Yansyah, M.B.A. dan Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T. sebagai pembicara, dengan dimoderatori dosen FTMD ITB Ir. Ony Arifianto, Ph.D., IPM.
Heri selaku pembicara pertama membuka forum diskusi panel dengan menjelaskan bahwa saat ini industri dirgantara merupakan salah satu industri yang dibutuhkan Indonesia. Menurutnya, Indonesia sangat rentan soal keamanan, sehingga perlu integrasi untuk pengawasan wilayah Republik Indonesia. “Kita perlu pesawat untuk menjangkau seluruh Indonesia, tidak hanya cukup satu tetapi lebih karena wilayah yang luas. Sehingga butuh industri dirgantara,” jelas Heri.
Seperti diketahui, PTDI merupakan perusahaan industri dirgantara yang bergerak di bidang produksi pesawat di Indonesia. Perusahaan ini merupakan yang pertama dan satu-satunya produsen pesawat terbang di kawasan ASEAN. Heri menjelaskan ada banyak produk yang diproduksi oleh PTDI mulai dari pesawat hingga komponennya. “Pesawat CN235, NC212, N219, kemudian ada helikopter, produk licence, ada roket, rudal, [dan] pesawat tempur KFX/IFX yang saat ini tengah berjalan di Korea,” tutur Heri menyebutkan beberapa produk PTDI.
Lebih lanjut, Heri mengungkapkan bahwa perusahaan yang telah menaungi dirinya selama tiga puluh tahun ini telah menghasilkan 466 produk yang sudah tersebar di 50 negara. Beberapa produk di antaranya saat ini dalam tahap pengembangan. “Saat ini PTDI sedang mengembangkan beberapa produk seperti N219, N219 AMPHIBI, CN235 komersial yang bekerjasama dengan ITB, dan masih banyak lagi termasuk rudal,” tuturnya.
PTDI mengambil posisi penting dalam industri dirgantara Indonesia. Namun demikian, nyatanya PTDI saat ini dihadapkan dengan tantangan yang menghantuinya. Heri mengungkapkan saat ini perusahaannya kekurangan sumber daya manusia (SDM) muda sehingga menghambat regenerasi. “SDM di sana banyak di usia 40-50. Senior yang sudah tua dan seharusnya sudah pensiun masih banyak. Tantangan regenerasi ini yang sedang dihadapi industri dirgantara,” jelasnya.
Selain tantangan SDM, Heri menuturkan tantangan lainnya ada pada sistem keamanan data. Pada industri pesawat tempur tantangan keamanan sangat rumit. Hal ini disebabkan masih tergantungnya industri dirgantara pada Amerika Serikat. “Data-data kita keluar, kemandirian kurang; sehingga diharapkan ke depannya kita bisa lebih mandiri lagi untuk industri sistem pesawat tempur,” tambahnya. Ia berharap sistem keamanan data kedepannya harus lebih diperhatikan agar tertata. Menurutnya selama ini keamanan di industri dirgantara masih bersifat “personal yang tidak terikat”.
Butuh Peranan Semua Pihak
Pada sesi berikutnya, Tatacipta selaku pembicara kedua menjelaskan industri dirgantara dalam kacamata dirinya sebagai akademis. Ia mengatakan bahwa peran akademis merupakan simpul dalam industri dirgantara. Oleh karena umumnya guru/dosen dari industri ini sama, dirinya menambahkan, akademisi bisa menjadi penengah antara pelaku-pelaku di industri ini.
Selain membahas peran akademis, dirinya juga juga menjelaskan industri dirgantara dalam sisi ekonomi dan sosial. Menurutnya industri dirgantara sangatlah ‘gurih’ karena nilai pasarnya yang besar. Meski pada sektor dirgantara Indonesia masih ‘tekor’, ia berpendapat ini akan menguntungkan apabila dikelola dengan baik. Salah satu keuntungannya adalah tumbuhnya sirkulasi ekonomi. “Kenapa harus ada industri nasional? Kalau beli kita hanya dapat produknya. Apabila memproduksi maka yang didapat adalah produk dan ilmunya. Industri komponen akan tumbuh. Sirkulasi ekonomi bagus,” ujarnya.
Berbicara tentang tantangan dan tren di masa depan, Tatacipta setuju dengan pernyataan Heri mengenai SDM sebagai ‘musuh’ industri ini. “Kita kekurangan sembilan ribu engineering (tenaga teknisi, red.) kalau hanya ITB yang memiliki teknik dirgantara,” ujarnya. Tantangan berikutnya yang Tatacipta rasakan adalah tantangan mental. Menurutnya mental orang Indonesia masih suka merendahkan produk Indonesia. “Produk Indonesia pasti jelek. Padahal industri dirgantara negara lain juga diawali dengan hal yang sama,” ucapnya.
Kesimpulan dari diskusi ini ialah industri dirgantara sangat dibutuhkan Indonesia. Dampak industri ini tidak hanya di udara, tetapi juga berdampak pada ekonomi, sehingga Indonesia perlu fokus ke arah sana. Kedua pembicara setuju bahwa yang dibutuhkan industri dirgantara saat ini adalah konsistensi yang perlu dijalankan. (Yahya Wijaya Pane/Editor: Rama S. Pratama, Foto: Zahid Muhammad Bilal, Adilla Falasifah)