Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI 2013-2015 Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. memberikan pemaparan di Masjid Kampus UGM pada Rabu (5/4). Dalam ceramah bertajuk “Mahkamah Konstitusi Dulu, Kini, dan Nanti: Merekonstruksi Negara Taat Konstitusi” itu, beliau mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang menganut sistem konstitusional. Sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para bapak bangsa (founding fathers), bahwasannya Indonesia diselenggarakan dengan konstitusi dan hukum, bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka.
Sejarah mengatakan bahwa dua masa kepemimpinan mengimplementasikan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan wajah yang berbeda. Menurutnya, masa Soekarno menekankan pada demokrasi yang terpimpin di mana kekuasaan berada pada satu tangan, sedangkan masa Soeharto juga mengarah pada demokrasi terpimpin dengan dibungkus oleh hukum dan konstitusi secara formal, yang pada akhirnya pemilihan umum hanya berfungsi sebagai alat melegitimasi kekuasaan untuk melanjutkan pembangunan. Dengan sistem demokrasi terpimpin inilah muncul tuntutan reformasi yang, baginya, justru menyempurnakan UUD 1945.
Hamdan mengatakan bahwa MK berperan sebagai pengawal dari konstitusi, yang “menegatifkan” kebijakan legislatif atau kebijakan negatif yang dibuat oleh eksekutif atau pembentuk undang-undang. “Harapannya adalah, dengan adanya Mahkamah Konstitusi, tidak lagi undang-undang dasar itu disimpangi seperti yang terjadi… baik [pada] pemerintahan Soekarno maupun pemerintahan Soeharto,” lanjutnya.
Dalam memutuskan masalahnya, lanjutnya, keputusan MK dikenal bersifat eksekusi mandiri (self-executorial). Dalam hal ini, MK mengeksekusi dirinya karena kewibawaan keputusan-keputusannya yang dihormati oleh rakyat, dan juga kemauan dari lembaga dan institusi negara yang lain untuk menghormati keputusan MK.
Beliau mengemukakan pandangannya terhadap lembaga-lembaga negara, yang mana saat ini telah mengalami ketidakpercayaan (distrust) di masyarakat yang cukup tinggi. Hal ini dilandasi oleh faktor putusan-putusan mereka yang dinilai “tidak sesuai” dengan suara rakyat. Distrust tersebut bukan hanya dari masyarakat, melainkan juga dari lembaga-lembaga negara yang semakin khawatir terhadap posisi MK sehingga ada upaya kontrol terhadapnya.
Beliau menjelaskan, jika sekali saja MK berada di bawah kendali kekuasaan eksekutif dan legislatif, dan apa yang menjadi keputusan MK harus sesuai dengan kehendak legislatif, maka posisi MK sebagai penjaga konstitusi (guardians of constitution) menjadi tidak bermakna. Padahal perbaikan UUD 1945 menjadi suatu penegasan untuk memberikan independensi yang luar biasa kepada badan-badan peradilan agar tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun. “Kalau nanti Mahkamah Konstitusi, KPK, Mahkamah Agung bisa dipengaruhi oleh eksekutif, maka di situlah kehancuran negara hukum atau negara atau negara yang berdasarkan konstitusi,” pungkasnya. (Hafidah Munisah/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Gembong Hanung)