Dalam Ramadhan Public Lecture yang dilaksanakan di Masjid Kampus UGM (22/3), dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A. membahas peran kebijakan publik dalam mewujudkan sosial. Menurutnya, ada beberapa hal penting yang beliau soroti mengenai peran negara dan juga perumus kebijakan dalam mewujudkan keadilan sosial, di antaranya mengenai kemiskinan struktural.
Prof. Purwo mengatakan, pengentasan kemiskinan struktural sangat keras diwacanakan atau didiskusikan di ruang akademik kampus, tetapi tidak dimanifestasikan di dalam kebijakan publik terutama dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan. Menurutnya, wacana kemiskinan menurut asumsi pemerintah dan perumus kebijakan dianggap sebagai kelangkaan uang/kelangkaan barang, dan solusinya dengan diberikan bantuan. Bantuan tersebut, seperti bantuan sosial (bansos) dan bantuan langsung tunai (BLT), dinilainya merupakan cara negara untuk menghindar dari tanggung jawab untuk memikirkan kemiskinan yang sifatnya struktural.
“Kita memiliki kegelisahan akademik karena manifestasinya hanya dalam diskursus akademik, tetapi kalau pun ada dalam praktek kebijakan, ya kalau lah ada, kelihatannya samar-samar,” ungkapnya.
Prof. Purwo menambahkan, pengentasan kemiskinan tidak bisa dituntut, karena bukan menjadi janji pemerintah. Hal ini, menurutnya, disebabkan saat ini pemerintah membicarakan kemiskinan sebagai properti, yaitu watak dari individu, bukan watak relasi sosial. Oleh karena itu, ia mengatakan kalau kemiskinan struktural itu dibicarakan, maka dapat dikatakan kemiskinan itu produk dari struktur kehidupan, bermasyarakat, dan yang semisal.
Prof. Purwo mengatakan sejauh ini janji memberantas kemiskinan belum bisa menjadi janji negara untuk menjamin hak asasi warga negaranya. Ia membeberkan bahwa dari kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang sudah ada selama bertahun-tahun, capaian yang dihasilkan tidaklah seberapa, padahal anggaran yang digelontorkan tetap besar. Ia menilai, hal yang menyebabkan penanggulangan kemiskinan tidak menemukan jalan keluarnya karena wawasan strukturalis tidak diadopsi oleh pemerintah, sehingga tidak menerpa strukturnya.
Prof. Purwo juga memaparkan, pada bulan Ramadhan kita dianjurkan untuk lebih banyak bersedekah, serta terdapat kewajiban zakat fitrah. Menurutnya, salah satu keutamaannya ialah supaya umat punya tanggung jawab untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan yang sifatnya struktural. Hanya saja, ia menyebut bahwa dalam ajaran fikih, tanggung jawab yang dipahami umat hanya sebatas “membayarkan”.
Ia menjelaskan, sejak zaman Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Baitul Mal mulai dilembagakan. Dengan demikian, seseorang tidak hanya diwajibkan atau diutamakan bertanggung jawab kepada kemiskinan orang lain, tetapi negara (dalam konteks ini) juga punya tanggung jawab mensejahterakan rakyatnya.
Prof. Purwo menilai, pembicaraan tentang kemiskinan yang sifatnya struktural di Indonesia belum dirumuskan sebagai strategi spesifik di dalam pengelolaan anggaran. Di sisi lain, ia juga menyoroti orang miskin yang “dimasukkan” di dalam anggaran di samping kebijakan pengentasan kemiskinan.
“Anggaran pemerintah itu disisihkan untuk orang miskin dan juga yang lainnya akan tetapi justru mungkin dari anggaran yang lainnya itu yang mengkondisikan orang miskin,” katanya.
Menurutnya, struktur yang menghasilkan orang miskin seakan “dipelihara”, sehingga negara memperlihatkan diri “bagi-bagi duit” tetapi pada saat yang bersamaan mempertahankan struktur yang menghasilkan ketidakadilan, menghasilkan keterpinggiran, dan lainnya. Hal itu menjadi biang keladi, sehingga para sosiolog mengatakan dengan apa yang disebut sebagai jebakan kemiskinan. Prof. Purwo menekankan, proses untuk keluar dari jebakan kemiskinan inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah. (Khirgi Rafimar Athifari/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)